Kalau kamu adalah penonton yang bosan dengan film Drive My Car, maka itu artinya kita.... SAMA! Saya tidak cukup familiar dengan karya-karya Haruki Murakami (film ini berdasarkan cerpennya), karena... saya bosan setengah mati membacanya. Baru dua buku sih yang saya baca, satu buku berhasil saya tamatkan (Colorless Tsukuru Tazaki and His Pilgrimate) dan satu buku membuat saya menyerah di pertengahan (The Wind-up Bird Chronicle, buku ini 925 halaman!). Saya kadang suudzon sama orang-orang yang menyukai karya-karya Murakami, apakah mereka berpura-pura menyukainya? Alasan saya (seenggaknya dari dua buku yang saya baca), membaca cerita karya Murakami membuat saya seperti menunggu-nunggu klimaks yang tidak pernah terjadi. Tulisannya begitu detail, sentimentil, dan terlalu deskriptif (atau bisa dibaca: tidak penting). Tokoh utamanya seperti seorang pria pemurung, introver, dan sangat overthinking. Ia seperti pria-pria protagonis dalam film yang memuat Manic Indie Pixie Dream Girl, yang berharap seorang perempuan cantik nan enerjik akan memberinya kebahagiaan - sementara saya adalah pembaca yang ingin menendang pria macam ini untuk lebih ceria sedikit dan menikmati hidup.
Maka pantaslah kala saya butuh "persiapan" sedikit untuk menonton Drive My Car yang disutradarai dan ditulis naskahnya oleh Ryusuke Hamaguchi ini. Diangkat dari cerpen, film ini bahkan punya durasi tiga jam. Drive My Car punya alur lambat yang bisa meninabobokkan saya, minim dialog, minim adegan dramatis, dan satu hal yang buat saya ganjil: dialog dan interaksi yang terasa kaku dan formal, membuat saya bertanya-tanya apakah orang Jepang sehari-hari seperti ini. Tapi, saya rasa style film ini dan khususnya style penceritaan Murakami adalah memang untuk menunjukkan apa yang terpendam dari hidup yang dipenuhi rutinitas, membosankan, dan tampak biasa-biasa aja: kesepian, perasaan teralienasi, penyesalan, insecurity, hingga kegagalan hidup. Saya juga tidak menyangka bahwa film yang tampak "tidak terjadi apa-apa" ini menyimpan banyak hal yang bisa digali secara dalam untuk saya renungi. Ini adalah film yang terlihat "kosong" tapi sesungguhnya "penuh". Ini adalah film yang emosional, dengan cara yang tidak emosional. (Tapi sekali lagi, saya masih mikir-mikir untuk baca buku Murakami lagi).
Drive My Car mengajak kita bertemu dengan Yusuke Kafuku (Hidetoshi Najima), seorang sutradara dan aktor teater. Proyek yang tengah ia pentaskan adalalah Uncle Vanya karya Anton Chekhov, dan menariknya ia menggunakan dialog multilingual dalam drama pementasannya ini. Dalam prolog satu jam di awal (iyees, jika film ini sepenuhnya didasarkan pada cerpen Murakami, film ini memang baru dimulai saat Yusuke ke Hiroshima), kita mengetahui Yusuke mempunya seorang istri bernama Oto (Reika Kirishima), seorang screenwriter yang kerap berselingkuh dengan banyak pria di belakang Yusuke. Film ini kemudian berusaha mengulik bagaimana Yusuke menghadapi kenyataan ini selepas istrinya meninggal mendadak. Proses ini secara tidak langsung dibantu oleh Misaki (Toko Miura), seorang perempuan muda yang pemurung yang menjadi supir pribadi Yusuke selama bekerja di Hiroshima.
Btw, pada tulisan ini saya ga akan mereview film ini, tapi lebih ke analisis penjelasan tentang makna film ini. Jadi, selanjutnya akan dipenuhi spoiler ~
METAFORA DAN SIMBOLISME
Apa yang membuat film ini sulit dicerna mungkin adalah karena kita kesulitan untuk memahami Yusuke. Yusuke serupa dengan kebanyakan pria yang lebih suka memendam kesedihannya sendiri, dan ini menghasilkan seorang pria lempeng, tampak stoic, dan tidak ekspresif (gambaran tepat tokoh utama kebanyakan cerita Murakami?). Ia (dan keseluruhan film ini) tampak berjarak. Mungkin banyak orang yang bahkan bingung dengan reaksi Yusuke kala memergoki istrinya berselingkuh: ia berpura tidak terjadi apa-apa. Hamaguchi juga tidak membawa kita ke jalan pikiran Yusuke, misalnya lewat adegan flashback, atau monolog suara isi hatinya. Ia hanya mengijinkan kita untuk memasuki pikiran Hamaguchi lewat pandangan kosong, atau gestur subtil Yusuke dan dialog-dialog yang ia ucapkan, utamanya dengan Koshi (Masaki Okada) dan Misaki.
Satu tips untuk memahami Yusuke, saya kira dengan memahami naskah drama yang ia pentaskan. Yusuke menemukan dirinya serupa dengan Uncle Vanya (bukan secara harfiah berdasarkan cerita, namun lebih ke perasaan-perasaan yang ia alami). Ini yang kemudian membuatnya makin kesulitan untuk memerankan Uncle Vanya setelah kematian istrinya. Dialog-dialog dalam drama ini tampaknya beresonansi dengan kegelisahannya. Penggunaan multibahasa dalam dramanya - bagaimana aktor dan aktrisnya menggunakan bahasa yang berbeda tapi saling mengerti, juga bisa diartikan secara menarik. Bagi saya ini seperti kita dengan orang-orang di sekeliling kita berkomunikasi dengan cara yang berbeda, namun kita saling memahami karena berada pada garis takdir (cerita) yang sama. Yang kita lakukan, adalah "stay to the text" - fokus pada dialog kita sendiri.
Sementara itu, untuk kita bisa memahami kegelisahan Oto, kita bisa membacanya dari kisah yang ia ceritakan tentang seorang gadis yang menyusup masuk ke rumah seorang pemuda. Gadis tersebut bagi saya melambangkan hasrat Oto kepada pria-pria selingkuhannya. Pada awalnya sang gadis berkeinginan untuk masturbasi di dalam kamar pemuda tersebut, namun sang gadis - sebagai seorang gadis baik-baik - berusaha menahan hasrat itu (tampaknya menandakan awalnya Oto berusaha menahan diri). Namun pada akhirnya hasratnya tak terbendung lagi, ia mulai bermasturbasi, dan tepat saat ia melakukannya.... seorang "penyusup" lain masuk dan si gadis membunuhnya. Penyusup itu melambangkan Yusuke, suaminya sendiri, dan Oto baru saja membunuh perkawinannya sendiri. Yang terjadi kemudian tampak membingungkan, dimana segalanya berjalan normal dan seperti tidak terjadi apa-apa. Ini bisa diartikan bagaimana Oto merasa frustasi bahwa tidak ada yang menyadari perkawinannya telah hancur, bahkan termasuk suaminya sendiri.
CINTA, SEKS, DAN PERSELINGKUHAN
Reaksi awal ketika mengetahui pasanganmu berselingkuh mungkin adalah marah. Tapi setelah marah, yang tersisa adalah pertanyaan besar: kenapa? Benak manusia, khususnya perempuan, tampaknya merupakan teka teki favorit Murakami. Saya rasa pertanyaan-pertanyaan ini yang kemudian menghantui Yusuke, walau di dalam hati ia percaya istrinya masih mencintainya. Menariknya, dalam suatu percakapan panjang di dalam mobil, alih-alih menyuruh Yusuke untuk masuk ke benak istrinya, Koshi justru menyuruh Yusuke untuk memahami dirinya sendiri dulu. Ia bilang bahwa memaksa masuk ke benak pasangan kita hanya akan melukai kita, dan meyakinkan Yusuke bahwa Oto sungguh-sungguh a lovely person.
Heh, tunggu dulu, bisakah seseorang mencintai pasangannya sekaligus berselingkuh darinya?
Hmmmm... belakangan saya melihat bahwa cinta, seks, dan monogami bukanlah sesuatu yang sederhana. Kamu bisa mencintai seseorang tapi hubungan seksmu buruk, atau kamu bisa punya partner seks yang hebat di ranjang tapi kamu tidak punya perasaan apa-apa. Saya juga masih bertanya-tanya apakah monogami itu bentuk naluri alami manusia atau social construct? (Mungkin jawabannya keduanya, kita punya kecenderungan alami monogami sekaligus tidak). Perselingkuhan dalam pernikahan saya rasa juga bukan sesuatu yang solusi tunggalnya perceraian. Saya tahu banyak pria-pria yang suka main ke spa, mencari BO, punya simpanan, tapi ia tidak mau meninggalkan istrinya, karena..... ya ia mencintai istrinya. Terdengar absurd ya? haha. Cinta dan seks memang berkaitan, tapi kaitannya rancu, kompleks dan rumit. Demikian dengan relasi manusia.
Di bagian akhir, Misaki justru mengatakan bahwa dua hal yang tampaknya berlawanan: cinta dan perselingkuhan, bukan sesuatu yang kontradiktif. Tidak ada yang misterius, ini sesuatu yang sederhana. Ya, Oto berselingkuh dari Yusuke, tapi ia juga mencintai Yusuke dengan tulus. Ya, ibu Misaki abusif terhadapnya, tapi ibunya juga menyayangi Misaki. Hal ini karena mereka semua... manusia biasa. Manusia tak bisa dikotak-kotakan dalam label tunggal "baik" versus "jahat". Oto dan Ibu Misaki adalah dua pribadi yang terluka (Oto mengalami depresi akibat kematian anaknya, dan ibu Misaki tampaknya mempunyai mental illness), dan akibatnya melukai orang-orang yang mereka sayangi.
Btw, saya jadi teringat kutipan yang saya suka dari buku Lalita karya Ayu Utami yang sesuai untuk saya taruh di sini:
“Mungkin kita tidak punya kemampuan untuk mengampuni. Yang bisa kita lakukan adalah berdamai dengan sisi lain manusia yang tak kita mengerti. Setidaknya itu membuat kita tidak mengutuk atau membalas dia.”.
YUSUKE DAN OTO
Sedari awal saya merasa hubungan Yusuke dan Oto ini tampak... janggal. Entah apakah karena sifat keduanya sama-sama pendiam dan kaku, karena hubungan pernikahan mereka terasa sangat canggung (candaan kecil yang awkward, saling berterima kasih seperti kepada rekan kerja - satu-satunya chemistry yang terasa real mungkin hanya saat mereka berhubungan seks). Kemudian kita mengetahui penyebabnya, bahwa mereka pernah kehilangan anak perempuan mereka karena pneumonia. Dan sebagaimana yang Yusuke katakan, masa-masa bahagia mereka telah sirna setelah kematian anak mereka. Namun mungkin Yusuke dan Oto tetap bertahan karena menyadari bahwa mereka mempunyai luka yang sama, dan yaaaa keduanya masih saling mencintai. Tapi pada akhirnya itu semua tidak cukup.
Pasangan Gong Yoon-soo (Jin Dae-Yeon) dan Lee Yoon-na (Park Yu-Rim) saya rasa sengaja dihadirkan oleh Hamaguchi sebagai antitesis hubungan pernikahan Yusuke dan Oto. Yoon-so dan Yoon-na adalah pasangan yang dipenuhi senyum dan kebahagiaan. Hubungan mereka terasa begitu alive dan full of joy. Bagaimana Yoon-soo rela belajar bahasa isyarat juga menjadi penanda perbedaan kedua pasangan itu: Yoon-soo belajar bahasa isyarat demi bisa berkomunikasi dengan istrinya, sementara Yusuke tidak pernah berusaha untuk memahami istrinya.
Bagi saya, Yusuke yang tidak berani mengkonfrontasi perselingkuhan istrinya lebih disebabkan karena ia tidak mampu menghadapi kenyataan. Ia tidak mampu berubah, ia tidak mampu meninggalkan hidupnya yang "normal", ia takut merusak keseimbangan yang telah ia bangun dengan istrinya. Akhirnya, ia lebih memilih untuk berpura-pura tidak tahu. Dalam hal ini, Yusuke justru menjadi pengecut, dan ini sesungguhnya justru merusak pernikahannya sendiri. Kepura-puraan Yusuke justru menjadi blunder dalam pernikahannya, karena perselingkuhan Oto sesungguhnya adalah tanda Oto butuh pertolongan. Dan, Oto malah justru ingin ketahuan. Mungkin Oto ingin didengar. Oto ingin afeksi. Oto ingin dicemburui dan diinginkan. Keduanya mempunyai luka yang sama, namun Yusuke memendamnya terlalu dalam, denial, dan berusaha mendistraksi dirinya dengan apapun, dan ini membuatnya kehilangan Oto. Kepura-pura tidaktahuan Yusuke atas perselingkuhan istrinya mungkin disebabkan ia takut kehilangan istrinya, tanpa ia sadari sesungguhnya ia telah kehilangan istrinya...
Dan ketika pada akhirnya Oto punya keberanian untuk berbicara serius dengan Yusuke, namun Yusuke malah sengaja berlama-lama mengendarai mobilnya pada malam itu karena tidak berani untuk akhirnya berkomunikasi dengan istrinya, semuanya sudah terlambat. Yusuke menemukan Oto sudah meninggal. Ini adalah penyesalan terberat yang harus ditanggung Yusuke dalam hidupnya. Dan ia tidak punya pilihan lain selain bertahan...
KEIKHLASAN DAN PENDERITAAN MENJALANI HIDUP
Sulit bagi saya untuk tidak merasakan perasaan desperate dan miserable yang sama dari percakapan yang tercipta antara Yusuke dan Misaki. Berikut apa yang Yusuke katakan kepada Misaki ketika merasa telah membunuh ibunya sendiri...
"If I were your father, I'd hold you round the shoulders and say, "It's not your fault. You did nothing wrong". But I can't say that. You killed your mother, and I killed my wife."
Lalu ini yang Yusuke katakan di akhir ketika ia dan Misaki melihat puing-puing rumah Misaki yang tersisa :
"Those who survive keep thinking about the dead. In one way or another, that will continue. You and I must keep living like that. We must keep on living. It'll be OK. I'm sure we'll be OK."
Buat saya, film ini ingin mengatakan bahwa... kita harus menerima kenyataan. Ketika Misaki bercerita tentang kematian ibunya, Yusuke sama sekali tidak berusaha mengatakan bahwa Misaki tidak membunuh ibunya sendiri, karena kenyataannya memang tidak seperti itu. Yusuke pun pada akhirnya harus menerima kenyataan bahwa ia juga melakukan hal yang sama kepada istrinya sendiri. Yusuke merindukan istrinya, ia ingin memperbaiki banyak hal, tapi tidak ada lagi yang kini bisa ia lakukan. Ini adalah derita dan takdir yang mereka berdua harus tanggung, dan harus mereka jalani. Saya rasa hal ini disampaikan dengan sempurna pada dialog yang dibawakan Yoon-a dengan bahasa isyarat di drama Uncle Vanya yang mereka pentaskan. Menarik bahwa Yoon-a hanya menggunakan bahasa isyarat, tapi dialog ini terasa begitu powerful, menyentuh dan emosional.
"We'll live through the long, long days, and through the long nights. We'll patiently endure the trials that fate sends our way. Even if we can't rest, we'll continue to work for others both now and when we have grown old. And when our last hour comes we'll go quietly. And in the great beyond, we'll say to Him that we suffered, that we cried, that life was hard. And God will have pity on us. Then you and I we'll see that bright, wonderful, dreamlike life before our eyes. We shall rejoice, and with tender smiles on our faces, we'll look back on our current sorrow. And then at last, we shall rest. I believe it. I strongly believe it from the bottom of my heart. When that time comes, we shall rest."
Saya tahu ini terdengar depresif. Tapi entah bagaimana dialog ini terasa begitu menyentuh sekaligus menenangkan...
Lalu, apakah pada akhirnya Yusuke dan Misaki telah mengikhlaskan kepergian orang yang mereka cintai dan memaafkan diri sendiri? Sebagian orang mungkin akan berpendapat demikian setelah di bagian akhir, Misaki tampak mengendarai mobil Saab milik Yusuke (yang artinya mungkin Yusuke telah merelakan mobilnya sendiri karena glukoma dan penanda bahwa ia siap berubah) dan bekas luka di Misaki juga telah hilang. Ini adalah ending yang manis dan optimis, tapi saya lebih suka memaknai hal ini dengan cara lain.
Bagi saya, mengikhlaskan kepergian orang yang kita cintai itu adalah proses seumur hidup. Tidak ada momen dalam hidup kita yang kita bisa demikian lantang berucap, "Saya akhirnya ikhlas!" atau "Saya sepenuhnya ikhlas!". Ikhlas itu buat saya adalah kata yang berat. Beberapa hari ini kita mendengar sebuah keluarga yang harus ditinggalkan anak sulung pertamanya dengan cara yang tragis, dan berharap keluarga ini telah "ikhlas sepenuhnya" dalam waktu dua minggu... dan saya merasa ini tidak adil. Ini bukan pendapat populer sih, tapi saya merasa sedikit tidak ikhlas itu tidak apa-apa. Tentu saja kita tidak terima harus ditinggalkan orang yang kita cintai, karena yaaaa kita mencintainya... Duka itu butuh diakui, dan menyembuhkan duka itu butuh waktu seumur hidup. Kita tidak harus ikhlas, kita tidak harus mampu memaafkan diri sendiri... hidup hanya harus.. menjalani? Sounds depressive, I knooooowwww ~
Bagi saya di akhir Yusuke dan Misaki bukan berarti mereka akhirnya telah "ikhlas", mereka hanya akhirnya belajar dan mencoba untuk melalui itu semua....