Dune (2021) (Review)


“The mystery of life isn't a problem to solve, but a reality to experience."

Rated: PG-13
Genre: Adventure, Science-Fiction
RottenTomatoes: 84% | IMDb: 8.1/10 | Metascore: 74/100
NikenBicaraFilm: 4/5

Directed by Denis Villeneuve ; Screenplay by Jon Spaihts, Denis Villeneuve, Eric Roth ; Based on Dune by Frank Herbert ; Produced by Mary Parent, Denis Villeneuve, Cale Boyter, Joe Caracciolo Jr. ; Starring Timothée Chalamet, Rebecca Ferguson, Oscar Isaac, Josh Brolin, Stellan Skarsgård, Dave Bautista, Stephen McKinley Henderson, Zendaya, Chang Chen, Sharon Duncan-Brewster, Charlotte Rampling, Jason Momoa, Javier Bardem ; Cinematography Greig Fraser ; Edited by Joe Walker ; Music by Hans Zimmer ; Production company Legendary Pictures ; Distributed by Warner Bros. Pictures ; Release dates September 3, 2021 (Venice), October 22, 2021 (United States) ; Running time 156 minutes ; Country United States ; Language English ; Budget $165 million

Review / Resensi :

Kelak saat anak saya sudah besar, saya akan berkata, "Nak, lihat pengorbanan mama ke kamu. Mama ga nonton Dune di bioskop demi kamu!". Semoga kelak anak saya memahami bahwa itu pengorbanan yang luar biasa besar, karena Dune yang disutradarai Denis Villeneuve ini hanya sempurna disaksikan di layar bioskop (sementara saya cuma nonton di layar handphone). Saya rasa semua orang sepakat betapa megahnya sinematografi, production set, dan visual effect Dune (masing-masing dikerjakan Greig Fraser, Patrice Vermette, dan Paul Lambert). Tentu menjadi cinematic experience yang menyenangkan andaikan saya bisa menyaksikan visual planet Arrakis di layar lebar. Setiap adegan Dune selayaknya gambar yang bisa kamu potong untuk dijadikan poster atau wallpaper.  Belum lagi scoring music yang unik nan membius dari Hans Zimmer dan departemen sound yang mengerjakan tugasnya dengan hebat. Budget 165 juta dollar tidak sia-sia karena Dune juga meraih 10 nominasi Oscar tahun ini (walau secara pendapatan di box office ga bagus-bagus banget - tapi bersyukurlah karena Dune: Part Two jadi digarap. Bayangkan kalo ga digarap, betapa "kentang"-nya ending Dune!). 

Terlepas dari betapa cintanya saya kepada Denis Villeneuve (bahkan saya memaafkan komentarnya soal MCU), saya tuh sebenarnya masih penasaran kenapa ada yang berani mengambil resiko menjadikan doi untuk menyutradarai film komersil berbudget besar. Iya, kita semua tahulah reputasi dan kemampuan Villeneuve, tapi ia bukan Steven Spielberg atau Christoper Nolan. Nolan, seperti yang pernah dibahas Villeneuve di interviewnya yang kontroversial, memang adalah sutradara yang bisa membuat film yang bagus di mata kritikus tapi juga tetap sukses secara komersil. Ini karena Nolan punya banyak trik yang disukai penonton mainstream: beberapa filmnya punya twist, pace-nya cenderung cepat, cerita yang rumit dan berlapis, action yang asyik - atau pada intinya, filmnya bisa kita bilang seru. Tapi menilik daftar film yang pernah digarap Villeneuve, kita ga bisa sepenuhnya mengatakan filmnya seru. Ya, Blade Runner 2049 itu keren; Incendies, Prisoners dan Arrival itu emosional, tapi alur lambat, dominasi nuansa misteri-thriller, dan kurangnya selera humor dalam film-filmnya bukan sesuatu yang disukai penonton kebanyakan. Ga heran kalo banyak penonton awam yang protes karena merasa bosan dan ngantuk pas nonton Dune. Saya aja mikir bahwa di-cast-nya aktor kelas A di film ini sepenuhnya untuk faktor komersil dan memudahkan kita mengingat karakter yang ada, bukan karena kemampuan aktingnya semata.

Dune, diangkat dari novel sci-fi tahun 1965 karya Frank Herbert yang kabarnya menginspirasi George Lucas untuk membuat Star Wars. Seringkali novel setebal 400 halaman lebih dan punya enam seri ini disebut sebagai novel yang mustahil untuk difilmkan dengan bagus. Beberapa orang sudah melakukannya, dan ga bisa disebut sukses. Salah satunya sutradara David Lynch di tahun 1984, dimana Dune versinya buruk di mata kritikus dan failure bomb di box office (Lynch bahkan kabarnya bilang ga berniat menonton Dune terbaru ini karena takut membangkitkan memori buruk). Kemustahilan ini konon katanya karena kompleksitas novelnya. Ada banyak karakter dan background story yang harus disampaikan, belum lagi ceritanya yang meliputi agama, mistik, hingga intrik politik bak Game Of Thrones versi intergalactic. Lalu apakah Villeneuve, yang menjadikan Dune film beralur lambat berdurasi dua setengah jam, berhasil melakukannya? Singkat kata, ia berhasil. 

Saya rasa keberhasilan Dune adalah karena naskah yang digarap John Spaihts, Eric Roth dan Denis Villeneuve sukses mengadaptasi sumber aslinya dengan baik. Filmya tahu mana poin penting yang harus ditampilkan dan diprioritaskan, dan mana yang harus dikorbankan. Dalam paruh pertama, Dune mampu memberikan informasi dengan cukup efektif bagi penonton awam yang ga familiar dengan novel atau film-film sebelumnya (termasuk saya). Dialog-dialognya juga ga berkesan maksa. Kita dengan mudah bisa mengikuti alur cerita maupun istilah-istilah yang ada di semesta Dune (walau membaca sekilas poin-poin penting tentang dunia Dune jelas lebih memudahkan kita memahami). Dune versi Villeneuve ini bahkan ga butuh ekposisi prolog berkepanjangan ala Dune-nya Lynch tahun 1984. Emang sih, bagi pembaca novelnya film Dune ini kurang akurat dan lengkap, tapi ini hal yang wajar dan kudu dimaklumi bagi film yang diangkat dari novel (gimanapun, kenikmatan membaca dan menonton film itu berbeda). Selain itu.... keberhasilan ini juga karena sedari awal Villeneuve berniat membagi filmnya - yang berdasarkan buku Dune pertama - menjadi dua bagian untuk meringankan beban pekerjaan. 

Secara plot film, alur film Dune ini juga sebenarnya sederhana, familiar, dan ga kompleks-kompleks banget. Inti film Dune tentang seorang remaja bernama Paul Atreides (Timothee Chalamet) yang diramalkan menjadi "The Chosen One" di tengah situasi genting perseteruan kerajaan antar planet. Ada beberapa house (serupa dengan house di Game of Thrones) yang penting di semesta Dune: House Atreides (tempat asal sang protagonis), House Harkonnen (antagonis), Emperor yang memimpin pemerintahan, Fremen (kaum penghuni tertindas yang tinggal di planet Arrakis tempat film ini berlangsung), Bene Gesserit (perkumpulan sisterhood yang punya kekuatan magis), dan Space Guild. Space Guild dan Emperor kebetulan ga banyak dibicarakan di film Dune Part One ini. Denis Villeneuve sendiri bilang bahwa ini adalah coming-of-age story bersetting semesta luar angkasa di masa depan, bagaimana seorang pemuda struggling menjadi pemimpin yang membawa perdamaian. Ini seperti kisah nabi atau messiah versi science fiction (atau seperti yang dibilang orang-orang: Star Wars versi dewasa). Ini adalah film tentang keberanian. 

Saya setengah memaklumi setengah mencibir, ketika banyak orang yang mungkin sebelumnya ga familiar dengan film-film Villeneuve, merasa bosan dan ngantuk kala menontonnya. Problem yang kerap dipermasalahkan: filmnya beralur lambat dan minim aksi. Tapi saya rasa alur lambat dalam film Dune dan mood yang terlampau sepi untuk sebuah film kolosal luar angkasa bukan tanpa alasan. Alih-alih menghadirkan pertarungan megah penuh spektakle ala Lord of The Rings versi luar angkasa dengan teknologi canggih bernuansa futuristik, Villeneuve lebih suka menghadirkan bahaya yang datang mengendap-endap di ranah personal. Perhatikan scene saat Duke Leto (Oscar Isaac) hendak diserang, atau bagaimana Paul berusaha kabur waktu ketahuan bersembunyi di markas Fremen. Bagi saya, pendekatan ini terasa lebih realis dan memberikan efek menegangkan yang intens (btw, in this case, Sicario is still Villeneuve's best work). Dan ini langkah berani yang jarang banget diambil film-film serupa.

Saya juga suka bagaimana Villeneuve menaruh atensi lebih dalam menunjukkan betapa berbahayanya planet Arrakis/Dune sebagai setting lokasi utama film ini, dan betapa seramnya monster cacing gigantik (Shai Hulud) penghuni planet Arrakis (cuma dua kali muncul, tapi efeknya unforgettable, dan desain monsternya luar biasa!). Adegan bagaimana Duke Leto dkk berusaha menyelamatkan mesin spice harvester yang tengah terancam oleh kehadiran sang cacing raksasa adalah scene yang berusaha membuktikan betapa bahayanya planet ini (adegan ini juga penting karena menunjukan betapa mulia dan heroik hati sang Duke karena lebih memilih menyelamatkan pekerjanya daripada spice). Penekanan pada setting lokasi ini membuat petualangan Paul nantinya berasa makin berbahaya.

Saya juga suka gimana Villeneuve menampilkan betapa mengerikan dan ga kenal ampunnya sang antagonis Baron Vladimir Harkonnen (diperankan Stellan Skarsgard, dalam make up prostetik khusus yang membuatnya terlihat separuh manusia separuh monster). Di sini Baron yang botak dan obese, terlihat misterius sekaligus deathly. Adegan ketika ia bisa melayang bagaikan hantu sukses membuat bulu kuduk saya meremang. Tapi.. sebenarnya saya tuh ngarep Dune dibikin lebih brutal dan sadis lagi sih. Bagi saya ini penting supaya alur lambat dan aspek menegangkan yang coba dibangun jadi terbayar dan lebih menggigit. Sayangnya, Dune diberi rating PG-13 untuk menjangkau audiens yang lebih luas.

Selain level kekerasan yang ramah anak, bagi saya kelemahan Dune ini adalah dari segi adegan actionnya yang agak melempem. Ga ada adegan action yang sampai bikin saya melongo atau berdecak kagum, padahal adegan action film ini cuma beberapa menit yang harusnya bisa dimaksimalkan lagi. Paling kerasa sih di adegan pertarungannya yang meh. Bahkan pesona Jason Mamoa aja ga cukup menyelamatkan adegan ini. Selain itu, film ini juga ga bisa menyentuh saya secara emosional, aspek yang membuat saya selama ini mengagumi karya-karya Villeneuve. Bagi saya pengembangan karakter Paul dan relasi antara dirinya dan ayah dan juga ibunya (Rebecca Ferguson) kurang dieksplor secara emosi. Pengembangan karakter Paul juga kurang terasa karena menurut saya ekspresinya terlalu lempeng dan sedari awal sebagai lakon ia sudah cukup jago. Jadi, saya tuh ga diajak untuk kasihan sama sekali sama nasibnya. Astaga, apakah saya aja yang terlalu banyak menuntut? (Tapi ini kayaknya juga karena efek saya ga nonton di bioskop sih).

Jadi, betapa menakjubkan visual yang ada pada akhirnya tidak cukup untuk membuat saya bisa mengatakan Dune adalah karya terbaik dari seorang Denis Villeneuve. Ya, ini adalah film petualangan yang menegangkan, but that's all. Semoga saja di Dune Part Two Villeneuve nantinya akan lebih memberikan apa yang saya harapkan: emosi yang lebih kuat, dan bisa jadi makna filosofis yang lebih dalam.

(Btw, saya tuh agak heran kenapa Dune yang bersetting masa depan dan dunia luar angkasa menerapkan monarki ala medieval? Apakah demokrasi republik susah diterapkan? dan yang lebih buruk lagi, kenapa namanya sesederhana Paul, Jessica dan Duncan sih?).