Foxtrot Six (2019) (2,5/5)


Halooooo! Adakah yang merindukan saya di sini? Nggak ada ya. Haha.

Mohon maaf karena saya sempat hiatus hampir 3 bulan. Dan dalam masa hiatus begini biasanya selain saya tidak ngeblog, saya juga dalam fase malas nonton film. Alhasil selama dua setengah bulan ini saya kelewatan banyak film, dan bahkan tidak terlalu antusias dengan penyelenggaraan Oscar tahun ini. Mohon dimaklumi, karena memang hidup lagi "ribet" dan "ribut". Astaga, penulis blog film macam apalah saya ini yang mood-mood-an menonton film?

(Mohon dimaklumi pula, jika review ini akan sedikit usil dan asal-asalan. Lama ga ngeblog biasanya tulisan saya jadi random dan garing gitu deh. Apalagi saya juga bukan fans film-film action. Oh ya, review ini juga akan PENUH SPOILER ya)

(SPOILER-REVIEW, YOU'VE BEEN WARNED)

Nggak ada yang lebih seksi dari gagasan Indonesia diselamatkan oleh enam pria ganteng nan macho. Dan enam pria macho-macho itu adalah Oka Antara, Rio Dewanto, Chico Jericho, Arifin Putra, Mike Lewis dan Verdi Solaiman. Duh, cewek-cewek tinggal milih deh (saya sebenarnya milih Ario Bayu. Sayang banget kenapa ga ikutan main sih!). Oke, tapi sebelum mengenal Foxtrot Six, sebaiknya kita mengetahui dulu ceritanya...

Jadi, di tahun 2031 Indonesia menuju negara yang ditakutin pak Prabowo kapan itu. Alkisah di saat krisis pangan, Indonesia dipimpin oleh presiden termuda (dan ganteng) yang kemudian dikudeta oleh partai PIRANAS yang kemudian memimpin Indonesia ini dengan semena-mena dan penuh keserakahan (dan presidennya jelas ga lebih ganteng). Kepemimpinan ngawur PIRANAS ini kemudian memunculkan musuh gerakan bawah tanah dari rakyat, yang disebut The Reform. Angga (Oka Antara), adalah mantan perwira militer dan anggota kongres yang awalnya punya rencana besar untuk menumpas Reformasi. Tapi ia kemudian diharuskan bekerjasama dengan Wisnu (Edward Akbar) yang merupakan pemimpin GERRAM, yang kayaknya mereka berdua ga punya hubungan baik. Setelah pertemuannya dengan Wisnu, Angga justru "dijebak" (atau tidak dijebak? entahlah!) dan dianggap berkhianat dan bersekongkol dengan gerakan The Reform dan menjadi buronan pemerintah..

Tapi ga sepenuhnya salah sih, karena Angga - yang semula bak petinggi militer yang sama serakahnya dengan empat pemimpin PIRANAS, tiba-tiba memang menjadi pendukung The Reform. Ini semua karena..... cinta. Yes, jadi ternyata Angga terkejut ketika salah satu pendiri The Reform adalah Sari (Julie Estelle) yang merupakan mantan pacarnya yang menghilang, dan ternyata punya anak dari hubungan mereka sebelumnya. Jadi si Sari ini marah sama Angga, karena Angga dianggap mendukung PIRANAS pada masa revolusi sebelumnya. Tapi kemudian, Angga langsung tobat dan menyesali gitu deh.... Idealisme lelaki memang ternyata bisa selabil ini. 

Untuk menyelamatkan negara ini (atau mungkinkah alasannya supaya bisa balikan sama Sari?), Angga kemudian mengumpulkan mantan bawahannya, membentuk regu khusus untuk menyelamatkan bangsa ini. Dan entah bagaimana regu khusus ini dipilih yang ganteng (nggak ada tuh yang mukanya kayak Wiranto atau Kivlan Zein) dan cakap bahasa Inggris. Iyes, harus bisa bahasa Inggris. Saya belum nyebut ya kalau dialog film ini semuanya berbahasa Inggris? Iya, tahun 2031 ternyata demam keminggris rakyat Jaksel menyebar ke seluruh Indonesia dan seluruh Indonesia jadi menggunakan bahasa Inggris. Dan menarik-nya lagi, aksennya gag ada medok-medoknya atau bahkan Southeast Asian accent. WOW. Tapi di tengah keminggris yang terjadi, saya cukup lega bahwa nama-nama khas Indonesia masih dipilih sebagai nama tokoh-tokohnya: Farid, Wisnu, Ganda, Sari, Angga. Khas nama anak-anak yang lahir tahun 70-90an. 

Sebenarnya, sebagai orang Indonesia, kita harus berbangga hati bahwa ada genre-genre action khas blockbuster Hollywood yang mewarnai perfilman Indonesia. Apalagi, dengan dana yang kabarnya mencapai 70 Miliar rupiah dan Mario Kassar yang populer berkat memproduseri film-film seperti Rambo, Total Recall, dan Terminator 2: A Judgement Day juga bertindak sebagai executive producer-nya. Tapi.... berhubung saya adalah orang yang nasionalisme-nya ga tinggi-tinggi banget, ga terlalu ngikutin film Indonesia, bukan penggemar film action semacam ini pula, saya akhirnya jadi biasa aja menanggapi film ini. Hehe.

Buat saya, berlebihan banget jika film ini dianggap sebagai the next The Raid-nya Gareth Evans. Okelah, film ini memang menawarkan adegan-adegan action yang menarik (untuk ukuran film Indonesia), dan level sadisme yang cukup bikin ngilu dan membuat film ini cuma boleh ditonton dua puluh satu tahun ke atas, tapi..... ya Foxtrot Six ini adalah typical B action movie. Serupa film-film Steven Seagal gitu deh. Naskah dan penyutradaraan Randy Korompais, buat saya pribadi, sama sekali ga bisa dibandingkan dengan The Raid. Putar film ini di luar negri, dan orang akan merasa film ini biasa aja. Yang ngerasa tercengang paling orang Indonesia aja yang emang menunggu ada film-film Indonesia seperti ini.

Pendapat saya pribadi, film yang bagus itu adalah film yang visi-misinya baik, dan keseluruhan narasi dan scriptnya mendukung visi-misinya. Buat saya The Raid itu fenomenal, karena visi-misi The Raid adalah menonjolkan film dengan fighting scene khas Indonesia. Dan itu berhasil didukung dengan cerita yang padat, ga bertele-tele, dan sepenuhnya tentang berantem. Sama lah kayak John Wick yang pertama. Baru pada sekuelnya (baik The Raid maupun John Wick 2), kisahnya sedikit lebih dieksplor lagi - dengan cara yang baik pula. Nah, buat saya Foxtrot Six ini ini terlalu berlebihan dan ambisius ingin memasukkan seluruh isi kepala Randy Korompais dengan beraneka rupa unsur: cinta-cintaan (dan cium-ciuman dengan gerakan kamera memutar), cinta ayah dan anaknya, adegan berantem, dunia distopia, konflik politik, pilih anak atau pacar (ini kayaknya niru The Dark Knight?), cinta ibu dan anaknya, tembak-tembakan, jubah ajaib, robot ajaib, adegan terjun dari pesawat, dll. Alhasil, naskah film jadi sepenuhnya kedodoran, full of plot hole, cerita-cerita yang ga jelas dan terkadang kelewat konyol, dan banyak adegan dramatis yang cheesy dan dipanjang-panjangin (apalagi bagian endingnya tuh). Jadi percuma lah semua efek CGI dan kemewahan adegan action itu kalo visi-misinya ga kuat dan scriptnya amburadul. Begitchu bro.

Film ini sebenarnya sudah dimulai dengan aneh, saat Angga yang semula tampak seperti anggota kongres yang jahat (dengan menyewa perempuan, hidup bergelimangan harta dan ga peduli orang miskin, lalu berencana menumpas the Reform dengan imbalan 1 % keuntungan Piranas), tiba-tiba jadi berubah pikiran sedemikian cepat dan jadi pendukung The Reform. Ini terasa seperti konflik yang maksa banget. Semakin ke belakang, film ini juga semakin kacau dan hanya sekedar ingin memuaskan kita dengan adegan-adegan actionnya aja. Contoh yang ingin saya pertanyakan: si mantan presiden Indra (Miller Khan) gunanya apa di film ini selain cuma menghibur saya dengan muka gantengnya. Atau fungsi personel militer lainnya yang datang menyelamatkan Angga dan kawan-kawan di markas The Reform (kenapa pas nyerang markas PIRANAS mereka tetap cuma berenam? Lha apa gunanya pasukan itu dataaaaang????). 

Ngomong-ngomong, adakah kalian menyadari bahwa rencana pembunuhan tujuh menteri ini tampaknya terilhami dari gerakan G 30 S? Hehe.

Sebagai penggemar film, saya sebenarnya bukan tipe "anak CGI", alias saya ga pernah terlalu aware dengan segala visual effect, kecuali visual effectnya model sinetron kolosal Indosiar. Jadi, kalaupun ada adegan CGI yang kasar di Foxtrot Six, saya tidak terlalu mempermasalahkan itu. Yang saya permasalahkan adalah, buat saya Randy Korompais kurang piawai menampilkan adegan actionnya. Adegan pertarungan yang dikoreografi oleh Uwaisteam sebenarnya sudah asyik, namun Randy Korompais sendiri selaku sutradara dan Ical Tanjung selaku sinematografer buat saya kurang baik menampilkannya. Kurang stylish, kurang greget, dan kurang menegangkan. Tension building-nya itu ga dapet sama sekali. Kalaupun jika menurutmu keren, kemungkinan besar karena level kekerasan-nya yang cukup sadis buat film Indonesia. Anyway, kesadisan Foxtrot Six menurut saya juga menjadi kesia-siaan belaka. Pertama, untuk apa diperlukan level kesadisan sedemikian rupa, jika film ini sekilas terasa seperti film khas blockbuster action khas Hollywood? Bukankah biasanya film blockbuster berusaha menarik massa penonton sebanyak-banyaknya? Film ini akhirnya membatasi penontonnya sendiri. Jika Foxtrot Six ditujukan untuk penggemar film-film action serupa The Raid, Foxtrot Six juga gagal membangun konflik dan narasinya dengan baik dan berkelas. Nanggung banget lah. (Belum lagi lagu Gema oleh Aurelie sebagai soundtrack-nya yang menurut saya kurang pas dengan film ini sendiri. Semakin menegaskan kalo pondasi film ini ga terlalu kuat. Duh, saya jadi keinget lagu endingnya Aquaman yang juga meh banget).

Berikutnya yang ingin saya soroti adalah terlalu "Amerika"-nya film ini. Mungkinkah ini ada hubungannya dengan background pendidikan sang sutradara yang katanya belajar perfilman di Amerika? Ga cuma karena dialognya seluruhnya dalam bahasa Inggris, tapi juga kostum tentaranya yang sangat Amerika, atau prosesi pemakamannya di akhir yang sangat Amerika sekali (eh tapi ga tau juga ding). Ya sebenarnya bebas aja sih (dan mungkin Indonesia di film ini memang sudah dikuasai oleh Amerika Serikat), tapi buat saya sendiri yang membuat The Raid itu bisa go International karena The Raid itu cukup "authentic" menunjukkan kearifan lokal-nya. Belum lagi di The Raid para pemeran-pemerannya punya muka yang khas lokal banget (kurang authentic apa coba mukanya Yayan Ruhian?). Dan ini justru menarik karena director-nya malah orang Inggris, yang perspektifnya mungkin berbeda dengan Randy Korompais yang orang Indonesia. Bukankah biasanya orang bule malah suka yang authentic gitu, sementara kita sendiri malah suka yang kebarat-baratan? Dipilihnya dialog bahasa Inggris mungkin juga karena penulis naskahnya agak gagap menulis dialog dalam bahasa Indonesia supaya kelihatan natural. Ini emang PR banget sih buat film Indonesia yang selalu awkward kalau membuat dialog dalam bahasa Indonesia. Karena orang Indonesia mana sih yang menggunakan bahasa Indonesia dengan sepenuhnya bahasa Indonesia tanpa punya aksen khas daerahnya?

...
Jadi, kesimpulannya?
Foxtrot Six sama sekali tidak memenuhi hype-nya. Saya merasa Randy Korompais punya banyak ide di kepalanya - terasa sekali bahwa ia memang penggemar film-film action, namun ia terlalu ambisius memasukkan semua unsur di dalam kepalanya ke dalam satu film, dan justru itulah yang membuat film ini gagal. Sayang banget. Oh ya, bagi penggemar film action biasa aja sih film ini sudah cukup bagus, tapi kritikus tentu tidak akan pernah menganggap film ini sebagai film action yang baik.