Rated: PG | Genre: Drama
Directed by John Carroll Lynch ; Produced by Ira Steven Behr, Danielle Renfrew Behrens, Greg Gilreath, Adam Hendricks, Richard Kahan, John H. Lang, Tom Clay ; Screenplay by Logan Sparks, Drago Sumonja ; Starring Harry Dean Stanton, David Lynch, Ron Livingston, Ed Begley Jr., Tom Skerritt ; Music by Elvis Kuehn ; Cinematography Tim Suhrstedt ; Production companySuperlative Films, Divide / Conquer, Lagralane Group ; Distributed by Magnolia Pictures ; Release dateMarch 11, 2017 (SXSW) ; Country United States ; Language English
Story / Cerita / Sinopsis :
Lucky mengikuti perjalanan hidup sehari-hari Lucky (Harry Dean Stanton), seorang pria yang telah berusia 90 tahun.
Review / Resensi :
REVIEW INI AKAN MENGANDUNG MAJOR SPOILER.
REVIEW INI AKAN MENGANDUNG MAJOR SPOILER.
Pernahkah kamu menonton sebuah film, yang ketika film berakhir kamu merasa kamu seperti tidak mendapatkan apa-apa? Namun seiring waktu, kamu mengenang setiap momen yang terjadi dalam film, meresapi setiap adegan dan percakapan, lalu kamu merasa momen-momen tersebut mengendapkan sesuatu dalam dirimu? Itulah yang saya rasakan kala menonton Lucky (2017), sebuah debut penyutradaraan dari John Carroll Lynch yang sebelumnya kita kenal sebagai aktor (kebanyakan as supporting character), dan dibintangi oleh Harry Dean Stanton, yang berusia 89 tahun kala syuting film ini. Lucky adalah film nyaris tanpa konflik - mengingatkan saya dengan Paterson-nya Jim Jarmusch, dan ketika film berakhir saya seperti tidak mendapatkan kesimpulan apa-apa. Namun beberapa saat kemudian, setelah saya punya cukup waktu untuk memikirkan film ini, baru saya bisa merasakan keindahan dan makna film ini. Lucky, is my "Paterson" movie in 2017 (you know how I love Paterson!).
Lucky adalah sebuah kisah meditatif dan kontemplatif eksistensialis Lucky (Harry Dean Stanton), seorang pria atheis berusia 90 tahun yang tinggal sendirian. Film dibuka keseharian Lucky setelah bangun tidur, ia menyalakan rokoknya, memutar radio, membersihkan diri, dan melakukan gerakan yoga ringan. Lalu ia pergi ke kedai milik Joe (Barry Shabaka Hanley) untuk minum kopi dan mengisi TTS, setelahnya mampir ke minimarket untuk membeli rokok sambil berbasa-basi dengan pemilik mini market, menghabiskan harinya di rumah sambil menonton televisi, lalu malamnya pergi ke bar dan bertemu teman-temannya sambil berbincang random tentang banyak hal. Harinya berubah ketika suatu hari tanpa sebab yang jelas ia pingsan dan jatuh. Walaupun tidak ada luka, dan kata dokter tubuhnya baik-baik saja dan terbilang sehat untuk pria yang berusia nyaris satu abad, hal ini membuat Lucky memikirkan tentang akhir hidupnya.
Ngomong-ngomong, kematian adalah issue yang selalu kerap menarik perhatian saya. Saya nggak tahu, kenapa topik ini selalu jadi favorit saya, hingga mungkin jika suatu saat saya akan menulis cerita, maka topiknya nggak akan jauh-jauh dari kematian. Kematian adalah sebuah topik yang cukup seram untuk dibawakan, namun John Carrol Lynch menjadikan Lucky sebagai sebuah film melankoli yang lembut, subtil, tanpa kesan yang berlebihan, dengan sedikit selera humor yang akan membuatmu tersenyum. Bagi kita yang relijius, kematian bukanlah akhir, dan yang membuat kita takut mati bisa jadi adalah karena kita sekedar takut masuk neraka. Sementara bagi Lucky, yang atheis-realis dan tidak percaya jiwa itu ada, baginya kematian tak lebih dari kegelapan. Tapi ketika ia jatuh, dan menyadari bahwa ia semakin dekat dengan akhir hidupnya, hal ini tidak juga mengubah pandangannya. Walaupun ia terlalu sombong untuk membagi perasaannya dengan terus terang ke orang lain, namun ia toh tetap disusupi sedikit ketakutan yang bisa dipahami. Dalam suatu adegan, dengan iringan lagu I See Darkness-nya Johnny Cash (lagu ini merepresentasikan film ini dengan sempurna, perhatikan liriknya), kita melihat Lucky terbangun di malam hari, ia tampak sedikit gelisah memikirkan hidup dan akhir hidup.
Seperti yang sudah saya bilang sebelumnya, Lucky adalah film nyaris tanpa konflik. Kisahnya berputar-putar "tidak jelas" mengikuti keseharian Lucky yang "biasa-biasa saja". Memahami makna film ini adalah dengan mencermati dialog-dialog yang tercipta di antara Lucky dan orang-orang di sekitarnya. Obrolannya mungkin nyaris random, namun hampir keseluruhan dialognya mengungkapkan secara implisit tentang kematian. Perhatikan ketika Lucky mengingat sepi yang menyedihkan ketika ia tidak sengaja menembak seekor burung, atau ketika ia ditinggal sendirian di rumah bibinya dan merasa panik ketika ia merasa "gelap", atau ketika ia berpikir tentang awal mula diri kita sebelum terlahir ke dunia. Dalam suatu adegan Lucky bertemu dengan Bob (Ron Livingston), seorang pengacara muda yang bercerita bahwa dirinya telah berjaga-jaga jika suatu saat ia meninggal dengan mengikuti asuransi dan membayar kremasi di muka. Lantas Lucky hanya berkata bahwa segala skenario yang telah disiapkan Bob tidak akan mengubah keadaan bahwa tho ia mati juga (ini pemikiran yang sangat nihilistik!). Lucky kemudian juga bertemu Fred (Tom Skerrit), sesama veteran perang yang bercerita tentang seorang anak jepang yang ditemuinya saat Perang Dunia ke-2 dan tersenyum ketika tentara Amerika datang. Sempat Fred berpikir bahwa si anak tersenyum dengan kehadiran tentara Amerika, sebelum ia akhirnya menyadari bahwa sang anak tersenyum karena menyambut takdir hidupnya: kematian. Bagi sang anak, rupanya kematian bukanlah sesuatu yang menakutkan.
David Lynch (yes, THAT DAVID LYNCH), yang juga merupakan sahabat Harry Dean Stanton, hadir sebagai Howard, teman Lucky. Howard diceritakan sedang sedih karena kehilangan Presiden Roosevelt, seekor kura-kura peliharaannya yang pergi dari halaman rumahnya. Sekilas, kehadiran karakter Howard di sini tampak absurd dan tidak relevan dengan jalan ceritanya, namun simak apa yang ia "khutbahkan" tentang hidup yang inspirasinya ia dapatkan dari kura-kura peliharaannya. Baginya, kura-kura adalah hewan spesial nan kontemporer karena memanggul beban tempurung di punggungnya sepanjang hidupnya, beban yang memang berfungsi melindunginya, namun sekaligus juga sebagai peti mati saat mati. Hey, bukankah demikian juga dengan kita manusia? bukankah kita membawa peti mati (takdir kematian) yang tidak kita ketahui setiap saat kemanapun kita pergi? Kita melihat Howard sedih karena kehilangan sahabat baiknya, namun Lucky - yang seorang realis, menghiburnya dengan berkata: "He's gone, Howard, and you're all alone. We come in alone, and we go out alone". Ketika kita melihat alone ini sebagai sesuatu yang suram dan menyedihkan, namun bagi Lucky ini adalah hal yang indah. Alone berasal dari kata all-one (it's in dictionary!). Belakangan, kita melihat Howard merelakan kepergian kura-kuranya ini sebagai sesuatu yang ia harus relakan ("if it's meant to be...), dan kita melihat Lucky tersenyum kecil mendengarnya.
Film ini juga berakhir sama biasa-biasanya dengan bagian awalnya. Lucky tidak akan mengajakmu pada kesimpulan maha besar di akhirnya. Jika kamu religius dan kamu mengharapkan film ini akan memberikan "pencerahan" tentang bagaimana kita memaknai dan menerima kematian, maka kamu mungkin akan kecewa dengan akhirnya. Perhatikan scene ketika Lucky kesal karena tidak boleh merokok di bar milik Beth, yang akhirnya mengantarkan kita pada sebuah monolog penutup yang merangkum bagaimana pandangannya soal mati:
(By the way, "kebijaksanaan" ala Lucky di sini bukan berarti menunjukkan bahwa karakternya bijaksana seperti Buddha. Ia sebenarnya pria yang agak menyebalkan, realis, kurang ramah, sedikit pesimis, sarkastik, dan quirky. Namun tampaknya orang-orang di sekitarnya menyayanginya).
Yang menjadikan Lucky makin terasa spesial dan personal adalah (tentu saja) Harry Dean Stanton. Lucky adalah peran terakhir Harry Dean Stanton, sebelum wafat pada usia 90 tahun, beberapa hari sebelum filmnya dirilis secara komersil, dan mengakhiri karirnya selama 70 tahun di dunia film. Nama Harry Dean Stanton mungkin tidak terlalu kita - generasi milenial - kenal, karena sebagai aktor watak peran-perannya lebih banyak sebagai supporting actor daripada lead-actor, dan juga film-filmnya kebanyakan film-film lama semua, dan cukup menakjubkan ketika ia mengakhiri karirnya sebagai Lucky. Lucky tidak hanya terinspirasi dari Harry Dean Stanton, namun ada banyak bagian yang memang mirip dengannya di dunia nyata: tidak menikah, pernah menjadi tentara di Perang Dunia 2, dan menghabiskan masa mudanya di Kentucky. Sebagaimana yang ditulis pada poster filmnya, Harry Dean Stanton is Lucky. Saya cukup emosional ketika melihatnya menyanyi "Volver, Volver" dalam sebuah adegan pesta. Namun yang paling bikin saya merinding adalah melihatnya di adegan akhir, ketika Lucky mengamati sebuah pohon kaktus, lalu Lucky menatap ke kamera sambil tersenyum lembut. I feel like Harry Dean Stanton as himself that smile to us. May he rest in peace.
Film ini juga berakhir sama biasa-biasanya dengan bagian awalnya. Lucky tidak akan mengajakmu pada kesimpulan maha besar di akhirnya. Jika kamu religius dan kamu mengharapkan film ini akan memberikan "pencerahan" tentang bagaimana kita memaknai dan menerima kematian, maka kamu mungkin akan kecewa dengan akhirnya. Perhatikan scene ketika Lucky kesal karena tidak boleh merokok di bar milik Beth, yang akhirnya mengantarkan kita pada sebuah monolog penutup yang merangkum bagaimana pandangannya soal mati:
"Truth is a thing. It's a truth of we are, and what we do. And you have to face that, and accept it. Because the truth of the universe is waiting. The truth of what is, and for all of us. (Which is) that's it's all going to go away. You, you, you, you, me, this cigarette, everything. Into blackness, the void. And nobody's in charge, And you're left with ungatz. Nothing. That's all, there is. (What we do with that)... You smile."Bagi saya, pada akhirnya Lucky menyambut kematian dengan prinsip-prinsip realisme yang ia cari artinya di kamus saat tengah mengisi TTS pada adegan di awal film: "Realism, noun. The attitude or practice of of accepting a situation as it is, and being prepared to deal with it accordingly,". Kematian adalah bagian dari kehidupan, kamu harus menghadapinya dan menerimanya. Memang itu sudah bagian dari natural kehidupan. Bahwa pada akhirnya kita akan menuju kegelapan, kehampaan, dan ketiadaan. It sound depressing, I know... Tapi Lucky punya saran apa yang harus kita lakukan dengan itu semua: You smile. Senyumin aja.
(By the way, "kebijaksanaan" ala Lucky di sini bukan berarti menunjukkan bahwa karakternya bijaksana seperti Buddha. Ia sebenarnya pria yang agak menyebalkan, realis, kurang ramah, sedikit pesimis, sarkastik, dan quirky. Namun tampaknya orang-orang di sekitarnya menyayanginya).
Yang menjadikan Lucky makin terasa spesial dan personal adalah (tentu saja) Harry Dean Stanton. Lucky adalah peran terakhir Harry Dean Stanton, sebelum wafat pada usia 90 tahun, beberapa hari sebelum filmnya dirilis secara komersil, dan mengakhiri karirnya selama 70 tahun di dunia film. Nama Harry Dean Stanton mungkin tidak terlalu kita - generasi milenial - kenal, karena sebagai aktor watak peran-perannya lebih banyak sebagai supporting actor daripada lead-actor, dan juga film-filmnya kebanyakan film-film lama semua, dan cukup menakjubkan ketika ia mengakhiri karirnya sebagai Lucky. Lucky tidak hanya terinspirasi dari Harry Dean Stanton, namun ada banyak bagian yang memang mirip dengannya di dunia nyata: tidak menikah, pernah menjadi tentara di Perang Dunia 2, dan menghabiskan masa mudanya di Kentucky. Sebagaimana yang ditulis pada poster filmnya, Harry Dean Stanton is Lucky. Saya cukup emosional ketika melihatnya menyanyi "Volver, Volver" dalam sebuah adegan pesta. Namun yang paling bikin saya merinding adalah melihatnya di adegan akhir, ketika Lucky mengamati sebuah pohon kaktus, lalu Lucky menatap ke kamera sambil tersenyum lembut. I feel like Harry Dean Stanton as himself that smile to us. May he rest in peace.