RottenTomatoes: 57% | IMDb : | Metascore : | NikenBicaraFilm: 3,5/5
Rated : PG-13 | Genre : Adventure, Family, Fantasy
Directed by David Yates ; Produced by David Heyman, J. K. Rowling, Steve Kloves, Lionel Wigram ; Written by J. K. Rowling ; Based on Characters by J. K. Rowling ; Starring Eddie Redmayne, Katherine Waterston, Dan Fogler, Alison Sudol, Ezra Miller, Zoƫ Kravitz, Callum Turner, Claudia Kim, William Nadylam, Kevin Guthrie, Jude Law, Johnny Depp ; Music by James Newton Howard ; Cinematography Philippe Rousselot ; Edited by Mark Day ; Production companyWarner Bros. Pictures, Heyday Films ; Distributed by Warner Bros. Pictures ; Release date 8 November 2018 (Paris), 16 November 2018 (United Kingdom and United States) ; Running time134 minutes ; Country United Kingdom, United States ; Language English ; Budget $200 million
Story / Sinopsis :
Instalasi kedua dari prekuel dari Harry Potter series ini menceritakan petualangan Newt Scamander (Eddie Redmayne) yang membantu Albus Dumbledore (Jude Law) melawan penyihir jahat Grindelwald (Johnny Depp).
Review / Resensi :
Sebagai orang yang tumbuh besar membaca novel film Harry Potter, menonton setiap filmnya di bioskop, dan mengidamkan Ron Weasley, entah kenapa saya tidak terlalu tertarik dengan proyek prekuel Harry Potter series ini lewat Fantastic Beasts. Waktu nonton seri pertamanya Fantastic Beasts and Where To Find Them (2016), saya menemukan diri saya cukup senang dan tersenyum di dalam bioskop, tapi beberapa waktu kemudian ingatan saya tentang film ini menguap gitu aja. Perasaan senang yang saya rasakan saat menontonnya kala itu tampaknya lebih bersifat nostalgia daripada merasakan keseruan Fantastic Beasts itu sendiri. Saya bahkan ga terlalu tertarik dengan rilisnya film keduanya, dan tidak termasuk yang hangat memperbincangkan Nagini-ternyata-pernah-jadi-manusia pas trailernya dirilis.
Yang paling menyenangkan dari Harry Potter adalah karena novel dan filmnya menampilkan fantasi yang menyenangkan dari dunia sihir. Oh, Hogwarts! Siapa yang tidak ingin jadi salah satu murid di sana? Masih keinget ketika saya dibuat excited dengan adanya peron 9 3/4, atau menjelajah Diagon Alley, atau bertemu makhluk-makhluk menarik seperti Centaurus, Goblin, dan Dementor, atau ikut merasakan masa-masa cinta monyet melihat Hermione dan Ron atau Harry dan Ginny. Segala keseruan memasuki dunia imajinasi Wizarding World itu sayangnya tidak saya dapatkan di Fantastic Beasts: The Crimes of Grindelwald ini. Naskah yang digarap sendiri oleh J.K. Rowling ini kayak melupakan aspek penting yang membuat novel sihirnya menyenangkan. The Crimes of Grindelwald seperti mengajak kita langsung ke tiga seri Harry Potter terakhir - ketika Voldemort mulai makin menunjukkan kuasanya, dan ceritanya makin muram - dan sejujurnya, tiga seri terakhir itu bukan seri favorit saya.
Cerita dibuka dengan Grindelwald (Johnny Depp) - penyihir jahat sebelum era Voldemort, berhasil kabur dari penjara penyihir Amerika. Ia kemudian mengumpulkan pengikut untuk menjalankan idealisme sendiri: menjadikan penyihir darah-murni sebagai penguasa dunia. Untuk menjalankan misinya ini, Grindelwald berniat merekrut Credence Backbone (Ezra Miller), si anak yatim piatu di seri pertama Fantastic Beasts yang juga seorang Obscurus. Credence Backbone sendiri tengah berusaha mencari orangtua kandungnya. Newt Scamander (Eddie Redmayne) kemudian diminta Albus Dumbledore (Jude Law) untuk mencari Credence dan mencegah Grindelwald berkuasa.
Okay, first of all. Grindelwald dengan ambisi dan idealismenya tampak seperti misi Magneto dari seri X-Men. Dan hubungan yang aneh antara Grindelwald dengan Dumbledore, seperti Magneto dan profesor X. Sebenarnya bisa dibedakan sih kalau aja J.K. Rowling lebih berani mengungkapkan: DUMBLEDORE IS GAY AND IN LOVE WITH GRINDELWALD! But nope, demi mencegah aksi boikot Fantastic Beasts karena mengandung unsur LGBT (apalagi ini mengandung unsur gay, bukan lesbian - yang cenderung men-triggered masyarakat homophobic), maka cinta sesama jenis ini sebaiknya "dikaburkan" aja. Selain itu, sebagai villain, Grindelwald adalah penyihir yang membosankan. Ia tak lebih dari Voldemort versi tahun 20an dan punya hidung.
Permasalahan berikutnya ada pada script yang dikerjakan J.K. Rowling sendiri. Saat menulis novel, J.K. Rowling bisa lebih leluasa mengeksplorasi imajinasinya, memasukkan subplot, dan menceritakan banyak karakter. Lalu tugas seorang penulis naskah film adalah mengadaptasi novelnya dengan memilih mana yang penting dan menarasikannya kembali dalam film dengan durasi kurang lebih 2 jam. Sayangnya ini gagal dilakukan oleh J.K. Rowling. Di Fantastic Beasts : The Crimes of Grindelwald ini, J.K. Rowling sibuk memasukkan banyak kisah, banyak karakter, banyak subplot sehingga semuanya seperti bertumpuk-tumpuk dan narasinya jadi berantakan serta membingungkan. Apalagi mulai pertengahan film. Duh! Menonton seri kedua ini seperti menonton ensiklopedia sejarah tokoh-tokoh yang pernah disebut di novel Harry Potter: Grindelwald, keluarga Lestrange, Nagini, Dumbledore, hingga Nicolas Flamel. Saya aja yang sudah baca novelnya masih bingung, apalagi mereka para muggle yang tidak pernah membaca novel dan menonton filmnya. Belum lagi fakta bahwa film ini diangkat dari buku Fantastic Beasts and Where To Find Them, sehingga tentu saja harus ada Fantastic Beasts-nya berupa makhluk-makhluk ajaib yang tidak terlalu relevan juga dengan jalan ceritanya.
Lalu, yang bikin film ini makin membuat dahi saya berkernyit adalah.... endingnya. Sadar ga sih hampi setiap seri Harry Potter selalu menyembunyikan twist di bagian akhirnya. Termasuk ending The Crimes of Grindelwald ini yang menurut saya maksa banget untuk bikin kejutan. When that twist revealed, I was like, "What the ~?". Tapi ya sudahlah. Ini kan yang bikin J.K. Rowling sendiri ya, jadi bebas aja dia mau mengarang-ngarang cerita dunia yang tercipta dari kepalanya sendiri.
Overview:
Entah kamu suka atau tidak, tak pelak lagi Fantastic Beasts : The Crimes of Grindelwald adalah seri terlemah dari sepuluh film lainnya. J.K. Rowling seperti maksa banget untuk memasukkan banyak karakter dan subplot, sementara ceritanya sendiri jadi berantakan, aneh, dan membingungkan. Filmnya sendiri bahkan kurang seru, tidak menawarkan sesuatu yang baru, dan jauh dari fantasi menyenangkan yang biasanya membuat kita bergairah saat membayangkan seri Harry Potter. Satu-satunya alasan saya menontonnya di bioskop dan tersenyum di beberapa momen adalah efek nostalgia yang saya rasakan, contohnya kala melihat kastil Hogwarts lagi di layar. Namun pada akhirnya saya lebih memilih nonton ulang Harry Potter di bioskop daripada nonton Fantastic Beasts.