Mempertanyakan Keputusan Louise (Amy Adams) dalam Menerima Takdirnya di film Arrival (2016)



Perhatian!
Tulisan ini akan mengandung spoiler dari film Arrival (Dennis Villeneuve, 2016). Bagi yang belum nonton diharapkan jangan baca tulisan ini ya daripada kesel karena kena ranjau spoiler. 


Beberapa saat yang lalu saya sudah mengungkapkan keinginan saya untuk bisa mengisi blog ini dengan rubrik-rubrik baru selain sekedar mereview film. Lalu saya kepikiran untuk bikin semacam esai yang ngebahas pesan-pesan dalam film. Saya namakan rubrik ini Belajar Hidup dari Film, dan rencananya rubrik ini merupakan semacam curhatan atau pandangan pribadi saya soal  pesan hidup dari film-film yang berkesan buat saya. Mudah-mudahan tulisan ini barokah. Halah.

Kali ini saya ingin ngebahas soal film Arrival, film sci-fi yang disutradarai oleh Dennis Villeneuve dan dirilis akhir tahun 2016. Film ini sendiri saya nobatkan sebagai film terbaik versi NikenBicaraFilm tahun 2016, karena film ini mengandung 2 hal utama kesukaan saya: tentang alien & luar angkasa, dan unsur drama emosional yang membuat saya mengharubiru. Sebuah twist di endingnya juga adalah bonus tersendiri yang membuat saya makin susah move on dengan film ini sendiri. Anyway, kecintaan saya dengan film Arrival pun berbuah manis lho - tulisan saya soal film Arrival berikut penjelasannya adalah artikel paling laris di blog ini.


Sudah pada tahu kan film Arrival tentang apa? Ini rangkuman pendeknya buat yang sudah lupa film ini tentang apa: Dua belas kapal luar angkasa dengan alien di dalamnya tiba di beberapa tempat di bumi. Louise Banks (Amy Adams), seorang ahli bahasa, diminta untuk berkomunikasi dengan para alien tersebut untuk mengetahui apa maksud kedatangan para alien itu.

Arrival punya twist yang sangat manis: ketika kita terkecoh mengira adegan antara karakter Amy Adams, si Louise, dengan anak perempuannya, Hannah, adalah flashback, namun sebenarnya semua kejadian tersebut terjadi di masa depan. Akibat kebanyakan "bergaul" dengan si alien heptapod, si Louise jadi bisa bermimpi tentang masa depannya. Ia tahu bahwa ia dan Ian (Jeremy Renner) akan jatuh cinta dan mereka akan mempunyai anak perempuan. Ia juga tahu bahwa anak perempuannya akan meninggal karena penyakit langka, dan Ian akan meninggalkannya. Terlepas dari kenyataan pahit yang akan dijalaninya di masa depan, dan ia bisa saja memilih jalan hidup masa depan yang lain dan mengubahnya, namun Louise tetap menerima takdirnya.

Bagi saya ini adalah konklusi yang mengharukan dan bikin saya mellow berhari-hari sejak nonton film ini - atau bahkan kapanpun saya mengingat film ini. Namun kakak sepupu saya setelah menonton ini punya pemikiran berbeda dengan komentarnya, "Gue ga paham kenapa Louise tetap menjalani takdirnya. Bodoh itu namanya!".

Hmmm... apakah kamu termasuk yang merasa Louise melakukan sesuatu yang bodoh?

Ini apa yang Louise katakan saat menerima takdir hidupnya:
"Despite knowing the journey, and where it leads. I embrace it. And I welcome every moment of it,"
Takdir masa depannya tragis dan pahit, namun Louise tetap merangkul takdirnya dan menyambut setiap momennya. Kenapa?

Untuk menjelaskan ini, saya akan setengah curhat dengan kehidupan pribadi saya. Saya punya kakak laki-laki, delapan tahun lebih tua daripada saya. Kakak pertama saya itu meninggal pada usia 27 tahun, sebelas tahun yang lalu, karena sakit yang dideritanya. Kehilangan kakak saya, juga proses kehilangan kakak saya, serta kerinduan setiap kali mengenangnya - adalah sebuah tragedi untuk saya dan keluarga, dan sulit untuk tidak menangis saat mengingat dirinya.

Hari ini, saya telah mengetahui takdir hidupnya dan takdir keluarga kami. Bagaimana perjalanan kebersamaan kami - saya dan kakak saya - hanya dikasih kesempatan 19 tahun oleh Tuhan. Jika saya sudah mengetahui takdir ini sejak dahulu, dan jika Tuhan memberikan saya pilihan apakah saya mau dilahirkan ke dunia lagi untuk menjadi adik perempuan kakak saya, apakah saya akan bersedia mengulangi hidup ini lagi bersamanya?

Kamu sudah tahu jawabannya: iya.

Terlepas dari seburuk apapun takdir yang ada, dan betapa traumatisnya kehilangannya... saya bersyukur bisa mengenalnya dan menjadikannya bagian dari hidup saya. Tragis, namun itu semua sepadan.


Saya kira, inilah yang kemudian juga menjadi jalan hidup yang dipilih Louise: menerima takdirnya. Ia mencintai anak perempuannya, ia juga mencintai Ian, dan ia memilih bahwa mencintai keduanya akan berujung sesuatu yang luar biasa menyedihkan. But she embrace it.

Saya kira kita tidak perlu mempelajari bahasa alien seperti Louise untuk bisa mengetahui masa depan. Setiap pertemuan akan ada perpisahan, setiap orang akan mati, dan kita akan kehilangan orang yang kita cintai. Entah kapan dan entah dengan cara apa. Kita semua tahu ini kan? Memilih untuk mempunyai anak, sebenarnya kita sudah tahu bahwa suatu saat kita akan berpisah dengannya. Bagi saya, ini adalah hal paling depresif yang pernah ada dalam hidup. Louise mungkin punya beban hidup yang berat karena ia tahu kapan ia akan berpisah dengan anak perempuannya. Sementara kita, diberi anugerah untuk tidak tahu kapan kita akan berpisah dengan orang yang kita cintai. Ini membuat kita menjalani takdir sambil berharap Tuhan kasih kita keabadian selama-lamanya.

Saat kita sudah mengetahui takdir kita, baik dan buruk, lalu apa yang bisa kita lakukan? Louise melakukannya dengan menyambut setiap momen kebersamaan yang ada. Mengetahui bahwa hidup ini adalah serangkaian tragedi, tidak lantas hidup kita tidak bisa dinikmati. Dengan mengetahui kenyataan ini, maka kamu akan bisa lebih mengapresiasi hal-hal yang sederhana dan remeh, bersama dengan orang yang kamu cintai.

Saya dulu sering banget bertengkar dengan almarhum kakak lelaki saya. Rebutan makanan lah, rebutan remote TV lah, marah karena dikentutin lah, dan lain sebagainya. Tapi kini saya rela membayar apapun untuk bisa merasakan hal itu lagi. Saya bahkan sedih karena ingatan saya tidak cukup mampu menampung setiap kenangan yang pernah ada.


Lalu ini yang dikatakan si Ian (Jeremy Renner) saat ditanya Louise (Amy Adams) dalam ending scene Arrival:
Dr. Louise Banks: If you could see your life from start to finish, would you change things?
Ian Donnelly: Maybe I would say what I felt more often. I don't know.
Mungkin kalau saya bisa mengulang lagi hidup saya setelah mengetahui semuanya, saya akan mengatakan apa yang saya rasakan lebih sering lagi. Mungkin saya akan bilang "I love you" kepada orang yang saya cintai lebih sering lagi. Mungkin saya akan lebih sering menunjukkan kasih saya. No regrets. Entahlah.

Jadi, menurutmu apakah Louise melakukan sesuatu yang benar?