cin(T)a (2010)



“Kenapa Tuhan menciptakan perbedaan, kalau Dia hanya ingin disembah dengan satu cara?”
God is a director || God is an architech

kendinanti :
Sinopsis:
Cina (Sunny Soon) dan Annisa (Saira Jihan) bergelut pada perasaan cinta mereka, berusaha mengatasi perbedaan agama yang ada di antara mereka.

Review:
Setelah menonton hampir berturut-turut film-film seperti Black Swan, The Fighter, The King’s Speech, A Single Man dan Blue Valentine, rasanya tidak adil jika membandingkan film-film itu dengan Cin(T)a. Jika saya mencoba mengais memori akan film-film Indonesia paling buruk yang pernah saya tonton: Istri Boongan dan Pelukan Janda Hantu Gerondong, maka cin(T) otomatis menjadi film yang sangat baik di mata saya.


Dari sisi pengambilan gambar dan sinematografi, saya melihat keunikan yang ditawarkan film ini. Setelah geleng-geleng kepala melihat bagaimana sinematografi ala televonela di hampir seluruh sinetron Indonesia, saya melihat cin(T)a menawarkan kualitas yang sangat baik. Tapi tampaknya sang sutradara terlalu terbuai untuk mengambil gambar-gambar yang cantik sehingga melupakan faktor-faktor lainnya. Pada akhirnya, di pertengahan film saya sudah dibikin kesal. Plot yang datar dan antiklimaks (konflik yang ada seperti ‘diada-adakan’ tanpa mampu menggaet emosi penonton), karakter 2 tokoh utama yang tidak jelas, penataan musik yang ala kadarnya, dan masih banyak lagi... (*btw, bukannya saya berniat menjatuhkan dan tidak mengapresiasi film ini. Isu pluralitas adalah isu yang sangat menarik untuk dibahas – terlebih di Indonesia, tapi saya sarankan cin(T)a masih perlu belajar lagi...). Yuk, dibahas satu persatu...

Pertama yang mau saya bahas adalah karakter yang ditawarkan tidak masuk akal dan kesannya setengah-setengah. Plotnya juga teramat datar dan dangkal. Annisa diceritakan seorang artis yang punya masalah keluarga. Kisah itu dibahas pada awal film, tapi tidak lagi dibahas pada adegan-adegan selanjutnya. Sammaria Simanjuntak sang sutradara kayaknya terlaluk terfokus menggarap adegan percintaan Annisa dan Cina, yang kesannya diulang-ulang aja. Saya gemes banget ngeliatnya. Belum usai pertanyaan-pertanyaan itu dijawab, tau-tau film ini berakhir. Perbedaan agama adalah konflik yang diangkat di film ini, tapi saya merasa tidak ada adegan yang benar-benar menunjukkan bahwa konflik itu adalah konflik yang benar-benar menjadi problem bagi mereka... Dengan cuma ada 2 orang sebagai tokoh utama (dan dua orang ini saja yang nongol dari seperempat awal film sampe akhir), tidak ada sesuatu yang dramatis yang menjadi roh dari film ini. Jika isu pluralitas adalah tema yang ditekankan, maka selain melalui dialog-dialog antara keduanya tidak ada sesuatu lain yang (bagi saya) membekas.

Selain itu, tampaknya sang sutradara sangat menyukai adegan-adegan romantis, sehingga dengan ditemani lagu dari Homogenic, hampir selalu film ini menampilkan tangan-tangan keduanya bersentuhan, bibir mereka saling berdekatan (tapi gag sampai cium-ciuman! Gemes banget... Rrrrrrr...), dan dua jari itu (yang tampak seperti di poster film ini di atas) berulang kali menampakkan diri. Awalnya kelihatan romantis dan cantik, tapi ketika jari itu nampak terus-terusan dan membuang-buang roll film, saya berharap tiba-tiba muncul Pepeng sambil berteriak “Jareee.. Jareee...!!” (*tau gag sih? Kuis di RCTI yang populer banget tahun 90-an??). Atau dengan kata lain, bolehlah dikatakan saya jenuh.


Kedua, dialog-dialognya cukup cerdas. Tepatnya, terlampau cerdas, sehingga tidak masuk akal untuk diucapkan sehari-hari. Saya jadi mikir dalem hati, mana ada orang yang ngomongin kayak gini kalau lagi pacaran?? Dengan kosakata yang terlampau baku dan diselingi pembicaraan bahasa inggris yang menurut saya terlalu berlebihan. Yaaa.. sebenarnya saya sangat suka dengan dialognya, tapi rasanya tidak masuk akal ketika menyaksikan dialog-dialog seperti ini diucapkan di kehidupan sehari-hari. Gag alami lah kesannya. Yang lagi ngomong emang Chairil Anwar ya?? Saya juga penasaran, kenapa film Indonesia rata-rata memiliki jeda panjang ketika saling berbicara. Kayak adegan slow motion gitu. Maunya dramatis atau gimana saya nggak tahu pasti. Makanya, film favorit Indonesia saya sampai saat ini tetap Nagabonar jadi 2. Dedy Mizwar benar-benar bagus kalo main dan bikin film. Tapi di luar itu semua, dialog-dialog cerdasnya adalah sesuatu yang patut diacungi jempol, namun dalam menyampaikannya melalui karakter Cina dan Annisa dan kekurangan pada segi plot – saya seperti merasa menjadi dialog omong kosong yang tidak masuk akal.

Ketiga, karakter Annisa menurut saya sooooooo annnnooooyyyiiiinnnggg!! Menyaksikan Saira Jihan berdialog, berjalan, bahkan sekedar menggerakkan tubuh membuat saya pengen nyetrum dia untuk ngasih energi baru pada baterainya yang kayaknya hampir habis. Soalnya gerakan dan bicaranya laaammmbbbaaaatttt bangett. Udah gitu nada bicaranya kayak keraton solo aja. Hehe. Kalau ada orang kayak Annisa presentasi TA kayak di film ini dan saya jadi dosennya, udah saya maki-maki... (*Alahh, bilang aja saya sirik! LOL. ^^). Belum lagi intonasi para pemain-pemain lainnya seperti ketika suara jurnalis mewartakan berita di televisi. Tidak pernah saya dengar suara jurnalis di metro TV atau TV One berbicara dengan intonasi seperti anak kelas 5 SD. Untungnya, karakter Cina oleh Sunny Soon sedikit membantu. Biarpun masih tetep geregetan juga ngeliat Cina kalau sok-sokan bicara diselingi bahasa Inggris, karakter bandelnya masih kebangun. Dan intonasinya sudah cukup baik lah. Salut buat akting Sunny Soon.

Keempat, tampaknya penataan musik film ini tidak digarap dengan serius. Kesalahan besar adalah menggunakan lagu yang sama untuk adegan yang berbeda. Saya kayak nonton salah satu episode FTV remaja di SCTV (yang biasanya menggunakan satu lagu utama sebagai soundtrack dan diulang-ulang terus dari awal film sampai akhir). Beberapa orang juga kerap mengeluhkan sound editingnya yang seperti asal-asalan.


But, at least saya tetap menghargai film ini sebagai salah satu film yang menandai kebangkitan film Indonesia. Ayolah, sudah saatnya para produser-produser India itu kembali ke negaranya dan berhenti meracuni penduduk Indonesia dengan film tidak bermutu tentang pornografi dan hantu-hantu bodoh. Sebagai sebuah film independen, maka ide yang ditawarkan film ini sangat apik. Namun saya yang sedikit arogan ini masih berharap bahwa pembenahan masih diperlukan untuk menjadikan film ini agar cukup menarik untuk ditonton.

*be-te-we tahu tempe, setelah berselancar di dunia maya... tampaknya kritikan asin saya di atas nyaris berbeda dengan banyaknya orang yang mengagumi film ini. Apakah saya yang tolol dan berselera rendaaaahhh???

Direkomendasikan Untuk:
Penggemar film Indonesia...